Masa Depan Kesehatan Publik: Menggerakkan Kemitraan COVID-19 untuk Penyakit yang Terlupakan
- Hilda Halida
- 28 Mei 2022
- 4 menit membaca
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Tempo
Penulis: Cazadira F. Tamzil dan Indira Zahra-Aridati
Kesehatan adalah hak dasar. Hal ini termaktub dalam konvensi global, yakni International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005. Namun, bahkan sebelum pandemi COVID-19, banyak orang yang belum dapat mewujudkan hak atas kesehatan ini. Sistem kesehatan dan sosial global sejak lama mengabaikan banyak penyakit, khususnya yang secara tidak proporsional berdampak pada kelas sosial-ekonomi bawah. Pandemi dan pembatasan mobilitas yang menyertainya semakin memperburuk keadaan, karena rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat menjadi kurang dapat diakses untuk deteksi, pencegahan, atau pengobatan.
Meskipun pandemi merupakan krisis yang menghancurkan, pada saat yang sama ia juga meninggalkan warisan penting bagi masa depan global: sebuah koalisi kuat antara aktor publik, swasta, dan komunitas dengan kapasitas sistemik untuk menghadapi ancaman kesehatan masyarakat yang mendesak. Saat kita mulai pulih dan membayangkan kembali masa depan kesehatan publik, kita seharusnya mempertimbangkan untuk mengarahkan sebagian kapasitas baru yang lahir dari COVID-19 guna menangani penyakit-penyakit yang terlupakan, terutama untuk mengurangi defisit informasi kesehatan publik dan logistik infrastruktur.
Di Indonesia, selagi momentum COVID-19 masih segar, kita bisa memulainya dengan penyakit pernapasan yang secara epidemiologis serupa dan menyumbang angka kematian tinggi, yakni Tuberkulosis (TB) dan pneumonia. Sebagai gambaran, Indonesia memiliki jumlah pasien TB terbanyak ketiga di dunia setelah India dan Tiongkok. Sementara itu, pneumonia adalah penyebab kematian menular tertinggi pada anak di bawah usia lima tahun di Indonesia, menginfeksi lebih dari setengah juta anak dan menyebabkan lebih dari sepuluh ribu kematian setiap tahunnya.
COVID-19: Sebuah Peringatan bagi Kesehatan Publik Global
Sistem kesehatan global sudah memiliki banyak celah bahkan sebelum COVID-19. Sistem ini sarat dengan banyak “penyakit yang terlupakan” – penyakit yang menimbulkan beban besar namun minim perhatian dan kapasitas mitigasi. Banyak di antaranya justru secara tidak proporsional berdampak pada kelas sosial-ekonomi bawah dan wilayah pedesaan.
Pandemi memperburuk penyakit-penyakit terlupakan tersebut karena pembatasan mobilitas membuat rumah sakit dan puskesmas kurang dapat diakses untuk deteksi dini, upaya pencegahan seperti vaksinasi atau imunisasi, serta pengobatan pasca-diagnosis. Menurut UNICEF Annual Report 2021, selama pandemi di Indonesia, 1 dari setiap 10 rumah tangga tidak dapat mengakses layanan imunisasi anak, sementara 3 dari setiap 4 rumah tangga tidak dapat mencari pengobatan bagi anak yang sakit.
Survei UNICEF lain pada 2021 juga menemukan bahwa pada puncak pandemi, hanya 45% responden yang mengunjungi rumah sakit dan 64% yang mengunjungi puskesmas untuk mengakses layanan kesehatan rutin seperti imunisasi, turun dari 79% dan 94% pada tahun sebelumnya. Walaupun pandemi merupakan krisis besar, COVID-19 telah meninggalkan warisan penting berupa solidaritas dan kemitraan skala besar melawan musuh bersama, yang berhasil menutup celah dalam sistem kesehatan. Salah satu buktinya, Indonesia berhasil mencapai tingkat vaksinasi COVID-19 nasional sebesar 78,23% (dua dosis) per 28 April 2022.
Saat kita mulai bangkit dari pandemi, kapasitas sistem yang ada seharusnya juga dimanfaatkan secara proporsional untuk menangani penyakit-penyakit terlupakan.
Penyakit Terlupakan: TB dan Pneumonia
Selagi momentum COVID-19 masih terasa, kita dapat mengarahkan modalitas yang sama untuk melawan penyakit pernapasan serupa secara epidemiologis seperti TB dan pneumonia, keduanya menyumbang angka kematian tinggi di Indonesia.
TB dan pneumonia sering terlupakan karena lebih banyak menyerang masyarakat berpenghasilan rendah – baik di Indonesia maupun di dunia. Mayoritas kasus ditemukan di negara berkembang. Meski tidak eksklusif sebagai “penyakit orang miskin,” risiko meningkat di komunitas yang mengalami deprivasi gizi dan kesejahteraan yang diperparah kemiskinan, seperti malnutrisi, polusi udara dalam ruangan, atau kurangnya akses ke layanan kesehatan primer. Tanpa diagnosis dan pengobatan, kedua penyakit yang sebenarnya dapat dicegah ini menjadi mematikan.
Hingga sebelum COVID-19, TB merupakan penyakit menular paling mematikan di dunia, dengan 10 juta infeksi baru dan 1,4 juta kematian pada 2019. Target mitigasi TB global sebagian besar tidak tercapai, dan untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, angka kematian TB meningkat akibat berkurangnya akses diagnosis dan pengobatan.
Indonesia, sebagai negara dengan beban TB tertinggi kedua di dunia, masih memiliki banyak kekurangan dalam deteksi, pencegahan, dan pengobatan pasca-diagnosis. Menurut Kementerian Kesehatan, hanya 49% dari 824 ribu kasus baru yang terdeteksi dan diobati tahun lalu, yang berarti hampir setengah juta orang tidak mendapatkan pengobatan dan berisiko menjadi sumber penularan.
Pneumonia juga merupakan penyakit pernapasan yang krusial. Secara global dan di Indonesia, pneumonia menjadi penyebab utama kematian anak di bawah usia lima tahun, dengan lebih dari 800 ribu kematian setiap tahun, atau satu anak meninggal setiap 39 detik. Pada 2018, Indonesia menempati peringkat keenam dunia dalam angka kematian anak akibat pneumonia dengan estimasi 19 ribu kematian.
Sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mengakhiri TB pada 2030 dan meluncurkan program vaksinasi pneumonia anak secara nasional pada 2024.
Pertanyaannya adalah, bagaimana kita dapat memanfaatkan kapasitas sistem COVID-19 yang ada untuk mencapai target tersebut?
Menggerakkan Modalitas COVID-19 untuk TB dan Pneumonia di Indonesia
Kita dapat memanfaatkan sistem yang lahir dari COVID-19 untuk mengatasi dua defisit utama dalam penanganan TB dan pneumonia: informasi kesehatan publik dan logistik infrastruktur.
Pertama, kita bisa mengaktifkan saluran informasi kesehatan publik COVID-19 untuk menyosialisasikan TB dan pneumonia sebagai ancaman kolektif yang mendesak, serta menyampaikan informasi mengenai deteksi, pencegahan, dan mekanisme pengobatannya. Saluran informasi ini termasuk platform digital COVID-19 dan jaringan informasi komunitas. Sistem surveilans nasional COVID-19 yang sudah ada juga bisa diperkuat untuk melakukan track-and-trace kasus dan memastikan pasien yang terdiagnosis mendapat pengobatan yang tepat.
Kedua, kita bisa secara bijak mengalihkan logistik COVID-19 yang tidak terpakai untuk meningkatkan aksesibilitas deteksi, upaya pencegahan seperti vaksinasi, dan pengobatan TB serta pneumonia, terutama di wilayah terpencil. Contohnya, distribusi obat bagi pasien isolasi COVID-19 melalui dukungan perusahaan telemedicine dapat dimanfaatkan untuk TB dan pneumonia.
Masa depan kesehatan global yang sehat mustahil terwujud tanpa menanggulangi penyakit-penyakit yang terlupakan. Upaya ini tidak mungkin berhasil tanpa percepatan solidaritas serta kemitraan publik, swasta, dan komunitas yang bermakna sebagaimana yang terjadi selama COVID-19. Memulai dari TB dan pneumonia bukan berarti berhenti di sana. Masih banyak penyakit terlupakan lainnya yang perlu ditangani dengan langkah terukur. Jangan biarkan penderitaan akibat COVID-19 sia-sia.