No One Left Behind: Mendorong Inklusi Disabilitas di Pendidikan Tinggi dan Dunia Kerja Formal
- Hilda Halida
- Jan 23
- 3 min read

Pijar Foundation dan Nippon Foundation, bekerja sama dengan Tenggara Strategics, meluncurkan Collaborative Action Plan (Rencana Aksi Kolaboratif) untuk mempercepat inklusi penyandang disabilitas (PWDs) di pendidikan tinggi dan dunia kerja formal. Acara peluncuran yang berlangsung pada 23 Januari di CSIS Indonesia ini menghadirkan beragam pemangku kepentingan, termasuk perwakilan komunitas disabilitas, lembaga pemerintah, pelaku usaha, dan institusi pendidikan tinggi.
Penyandang disabilitas secara eksplisit menjadi prioritas dalam Asta Cita pemerintah, menegaskan pentingnya peran mereka dalam pembangunan masa depan Indonesia. Selain itu, Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 menjadi landasan hukum untuk memastikan akses penyandang disabilitas terhadap pendidikan tinggi dan pekerjaan formal sebagai bagian dari tujuan inklusi disabilitas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang adil.
“Berbicara tentang (membangun) negara maju bukan hanya soal pendapatan atau pertumbuhan ekonomi; ini tentang talenta dan manusia. Dan ketika kita bicara tentang manusia, tidak ada satu pun yang boleh tertinggal. Itulah mengapa kami menyoroti inklusi bagi penyandang disabilitas—karena kita semua adalah orang Indonesia yang berhak merasakan Indonesia maju pada 2045,” ujar Cazadira Fediva Tamzil, Direktur Kebijakan Publik Pijar Foundation dalam sambutan pembukaannya.
Collaborative Action Plan ini disusun sebagai respons atas rendahnya partisipasi penyandang disabilitas di pendidikan tinggi yang hanya mencapai 2,8% pada 2022 dan di dunia kerja formal, di mana hanya 1% penyandang disabilitas yang bekerja pada 2023.
Dokumen ini mendorong perubahan pendekatan terhadap isu disabilitas—dari pendekatan berbasis amal menuju pendekatan berbasis hak asasi manusia. Perubahan ini bertujuan untuk memberdayakan penyandang disabilitas agar berperan aktif dalam merancang kebijakan, program, dan partisipasi inklusif. Untuk mendukung hal ini, para pemangku kepentingan diharapkan memperkuat sistem pemantauan dan memperluas implementasi kebijakan yang sudah ada. Aria Indrawati dari Yayasan Mitra Netra dan Adhi Kusumo Bharoto, pakar dan aktivis Tuli, menyoroti bahwa perubahan perspektif ini membutuhkan waktu. Mereka juga menekankan pentingnya menjembatani kesenjangan antara sekolah luar biasa dan sekolah umum agar lulusan disabilitas dapat berkembang di dunia kerja.
“Isunya bukan sekadar institusi pendidikan tinggi menerima penyandang disabilitas, tapi juga menyediakan akomodasi dan aksesibilitas penuh, karena kita sedang bicara tentang penyampaian ilmu dan pengembangan berpikir kritis bagi mahasiswa penyandang disabilitas,” ujar Adhi, seraya menambahkan bahwa semangat inklusivitas harus tertanam dalam kurikulum, aktivitas belajar, dan sistem pendidikan.
Untuk meningkatkan inklusi di pendidikan tinggi dan dunia kerja, para pemangku kepentingan perlu bersama-sama menyusun panduan standar. Ini mencakup penggunaan bahasa isyarat yang seragam, pemahaman yang mendalam terhadap spektrum disabilitas, serta penciptaan budaya inklusif di lingkungan akademik dan profesional.
Wiwin Siti Aminah Rohmawati, Direktur Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), membagikan pendekatan institusinya dalam membangun budaya kampus yang inklusif. “Kami menyediakan dukungan akademik, emosional, dan infrastruktur. Pelatihan tentang gender, disabilitas, dan inklusi sosial kami berikan bukan hanya kepada mahasiswa dan dosen, tapi juga staf dan tim keamanan untuk meningkatkan kesadaran,” jelasnya.
Krishna Worotikan, CFO dan pemimpin keberagaman/inklusi di Microsoft Indonesia, menegaskan pentingnya menanamkan nilai inklusivitas ke dalam operasi bisnis. Krishna membagikan bagaimana Microsoft telah menyesuaikan proses rekrutmennya agar dapat diakses oleh kandidat penyandang disabilitas.“Kebijakan rekrutmen kami memastikan semua posisi terbuka untuk semua kalangan. Untuk disabilitas tertentu, kami menyesuaikan proses wawancara, termasuk pedoman khusus bagi kandidat neurodiverse—mulai dari wawancara hingga perekrutan dan pelatihan, semua dirancang agar inklusif,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa panduan inklusivitas Microsoft meluas hingga ke seluruh ekosistem mitra perusahaan mereka.
Acara peluncuran ditutup dengan komitmen bersama untuk terus mendorong inklusi disabilitas dalam pendidikan dan pekerjaan. Dengan menyatukan pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan komunitas disabilitas, Collaborative Action Plan ini bertujuan meletakkan fondasi kemajuan yang benar-benar tidak meninggalkan siapa pun.
Berita ini juga telah tayang di The Jakarta Post dengan judul: No one left behind: Embracing disability inclusion in higher education, formal employment.

댓글