Memberdayakan Petani Kecil Indonesia untuk Mengadopsi Solusi Inovatif
- Hilda Halida
- 2 days ago
- 3 min read
Kemajuan teknologi pertanian, atau yang dikenal sebagai AgTech, tengah merevolusi praktik bertani di seluruh dunia. Namun, di tengah gelombang perubahan ini, para petani kecil di Indonesia justru menghadapi kesenjangan besar: antara potensi teknologi baru dan kenyataan praktik pertanian tradisional. Sebuah laporan terbaru mencoba menerangi jurang tersebut, serta menawarkan solusi yang inklusif untuk mendorong pertumbuhan dan pembangunan sektor pertanian.
Indonesia memiliki komunitas besar yang terdiri dari 17,2 juta petani kecil, yang memainkan peran vital dalam menyediakan pangan bagi 280 juta penduduknya. Meskipun kontribusi mereka sangat besar, sebagian besar dari mereka masih mengandalkan metode pertanian konvensional yang membatasi produktivitas dan akses ke pasar. Laporan ini menyatakan bahwa meningkatkan akses petani terhadap teknologi tidak hanya dapat meningkatkan hasil panen, tetapi juga memberi keuntungan finansial yang lebih baik serta memperkuat ketahanan pangan bagi generasi mendatang.
Trisna Mulyati, kandidat doktoral di University of Technology Sydney sekaligus penulis utama laporan ini, memahami betul tantangan tersebut. Berasal dari Provinsi Aceh, ia tumbuh besar dalam realitas pertanian rakyat. Ia menyampaikan, “Paman saya seorang petani, dan dalam lebih dari 30 tahun, hampir tidak ada yang berubah—kalaupun berubah, justru memburuk.” Pernyataan ini menggambarkan perasaan banyak petani yang mendambakan perubahan sistemik yang memungkinkan suara mereka terdengar dalam ekosistem inovasi.
Mulyati menekankan perlunya pendekatan teknologi yang berpusat pada petani, serta pentingnya memahami perspektif dan tantangan yang mereka hadapi. Untuk mengatasi fenomena ‘farmer exit’—yakni hilangnya generasi muda dari sektor pertanian—laporan ini menyerukan strategi yang mendorong regenerasi petani. Potensi pertumbuhan melalui teknologi sangat besar, namun Mulyati menegaskan bahwa startup AgTech perlu membangun kemitraan jangka panjang dengan petani, bukan sekadar interaksi sesaat yang tidak memberi dampak berarti.
AgTech mencakup berbagai alat dan metodologi yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan pertanian. Dari pertanian presisi, bioteknologi, otomasi, hingga analisis data—teknologi ini mencakup AI, sensor, drone, hingga GPS. Inovasi ini tidak hanya menjanjikan peningkatan hasil panen, tetapi juga mengubah cara pengelolaan sumber daya secara fundamental.
Diluncurkan di Konsulat Jenderal Australia di Bali pada 26 Februari, laporan bertajuk ‘Transitioning Future Small Farms in Indonesia: Ten Best Practices for Agritech Startups & Wider Ecosystems’ berisi rekomendasi praktis untuk berbagai pemangku kepentingan di sektor agritech. Sebuah lokakarya daring dijadwalkan pada 10 April untuk membahas versi terjemahan laporan ini dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah diakses oleh khalayak luas.
Laporan ini menyerukan kerja sama antara startup teknologi, LSM, dan pembuat kebijakan untuk mengatasi hambatan adopsi teknologi oleh petani. Dengan merinci 10 praktik terbaik, laporan ini ingin membangun ekosistem startup pedesaan yang sesuai dengan tantangan lokal yang dihadapi petani Indonesia. Praktik tersebut mencakup demonstrasi lapangan, pengukuran ROI petani, hingga keterlibatan aktif komunitas.
Penelitian ini didasarkan pada keterlibatan dengan 131 pemangku kepentingan, termasuk petani, startup, dan LSM di Jakarta, Jawa Barat, Bali, dan Aceh. Pendekatan ini menekankan pentingnya pengetahuan lokal dan kearifan tradisional dalam menciptakan solusi teknologi yang relevan dan kontekstual.
Dukungan riset ini diberikan oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) melalui Australia-Indonesia Institute, bersama Lestari, pusat inovasi yang dikelola oleh Pijar Foundation dan mitra lokal lainnya. Konsul Jenderal Australia, Jo Stevens, menegaskan komitmen DFAT untuk memperkuat kolaborasi internasional demi kesejahteraan bersama saat peluncuran laporan tersebut.
Kemitraan antara UTS dan Pijar Foundation, yang dikukuhkan melalui nota kesepahaman, menandai langkah maju dalam menjajaki sinergi riset dan pendidikan guna mengembangkan ekosistem inovasi di kedua negara. Laporan ini hadir bukan sekadar sebagai dokumen akademik, melainkan sebagai panduan strategis bagi pelaku AgTech dan komunitas pedesaan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara berkembang lainnya yang menghadapi tantangan serupa.
Associate Professor Martin Bliemel, Direktur Inovasi di UTS Transdisciplinary School, menegaskan pentingnya meninggalkan model startup yang seragam.
Dengan menjadikan inovasi berbasis petani sebagai pusat, Indonesia memiliki peluang untuk membangun sektor pertanian yang tangguh, berkelanjutan, dan siap menghadapi tantangan seperti perubahan iklim dan pertumbuhan populasi.
Dengan dirilisnya versi terjemahan laporan dan adanya ruang dialog melalui lokakarya daring, terbentuklah fondasi kokoh untuk menjembatani pemahaman antara petani dan inovator teknologi. Interaksi ini menyimpan potensi besar untuk membebaskan kreativitas dan inovasi petani kecil—memungkinkan mereka memanfaatkan teknologi untuk memperkuat mata pencaharian dan stabilitas komunitas mereka.
Perubahan transformatif memang tidak mudah. Tapi rekomendasi dalam laporan ini menunjukkan jalan: menginovasikan pertanian dengan tetap menghormati akar tradisinya. Jika tercapai, hal ini bisa menjadi cetak biru kebangkitan pertanian—bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara berkembang lainnya.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Bio Engineer
Comments